oleh : Akmal Adicahya, S.H.I., M.H.
Gugatan atas Perbuatan Melawan Hukum merupakan salah satu bentuk sengketa yang jamak ditemui pada Peradilan Umum. Sengketa Perbuatan Melawan Hukum menjadi jamak dan populer ditemukan pada Peradilan Agama sejak perkara Ekonomi Syariah diundangkan sebagai bagian dari perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama. Padahal perkara Perbuatan Melawan Hukum sejatinya tidak terbatas pada perkara ekonomi syariah. Terhadap objek harta bersama, harta waris, serta beberapa persoalan harta lainnya pun dapat terjadi suatu tindakan melawan hukum. Terhadap perkara-perkara tersebutlah timbul persoalan, Apakah Peradilan Agama berwenang untuk mengadili perkara gugatan perbuatan melawan hukum di luar perkara ekonomi syariah?
Tulisan ini akan berupaya menjelaskan dasar hukum kewenangan Peradilan Agama dalam memeriksa gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Oleh karenanya, tulisan ini tidak akan mengupas bentuk-bentuk maupun unsur-unsur perbuatan melawan hukum melainkan sekilah sebagai pengantar dan penegasan PMH sebagai suatu perkara perdata.
Perbuatan Melawan Hukum
Gugatan perbuatan melawan hukum merupakan salah satu jenis sengketa yang jamak bahkan nyaris dapat ditemukan menjadi dalil dalam setiap gugatan sengketa perdata pada peradilan umum. Dalam soal jual beli, hutang piutang, hingga gugatan soal penguasaan lahan kerap mencantumkan petitum agar tergugat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, kemudian berdasarkan hal tersebut diwajibkan kepada tergugat untuk dihukum membayar ganti rugi kepada tergugat. Kondisi ini nampaknya tidak jamak dan sangat jarang ditemukan pada peradilan agama.
Perkara yang sering ditemukan pada peradilan agama terbatas pada persoalan cerai, hak asuh anak, maupun permohonan dispensasi kawin yang di dalam gugatannya sangat jarang meminta petitum menyatakan agar Tergugat dinyatakan melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Terlebih, memang bukanlah hal yang lazin dalam perkara tentang orang (person recht) dimohonkan suatu petitum PMH. Dalam praktik, gugatan PMH sering digunakan dalam sengketa benda (zaaken recht). Meski memiliki kewenangan mengadili sejumlah perkara benda seperti harta bersama, waris, hibah dan wasiat tidak membuat gugatan PMH menjadi lazim ditemukan dalam perkara perdata pada Peradilan Agama. Sebagaimana telah disebutkan di atas, perkara gugatan PMH dan Wanprestasi lebih banyak ditemukan dalam perkara ekonomi syariah.
Munir Fuady mengklasifikasikan unsur Perbuatan Melawan Hukum secara alternatif ke dalam 5 (lima) perbuatan berikut:
- Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku
- Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum
- Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
- Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden)
- Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschap pelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders person of goed)
Dalam praktik peradilan, salah satu pasal yang digunakan untuk mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum adalah Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan:
Elke onregmatige daad, waardor aan een ander schade wordt toegebraght, stelt dengene door wiens schuld die schade veroorzaakt is in de verpligting om dezelve te vergoeden
Terjemah:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut
Sejatinya selain ketentuan a quo, masih terdapat pasal-pasal lain yang berkaitan dengan PMH. Akan tetapi kiranya pasal tersebutlah yang paling jamak ditemukan dan digunakan sebagai dasar hukum dalam gugatan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, maka pihak-pihak yang melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang mana perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan pelanggar hukum yang melakukan perlanggaran tersebut dengan kesalahan (schuld) mengganti kerugian pihak tersebut.
Jika merujuk pada unsur PMH yang disampaikan oleh Munir Fuady serta pasal-pasal dalam KUHPerdata, kriterian suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan melawan hukum menjadi sangat luas dan mencakup banyak bidang. Hal ini tidak lepas dengan diluaskannya makna onrechtmatige daad menjadi tidak hanya melanggar suatu peraturan hukum, namun juga bertentangan dengan kesusilaan serta kepantasan dalam masyarakat (Putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919),4 maka cakupan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata kian luas untuk dipergunakan dalam setiap perkara. Bahkan jika mengacu pada pengertian PMH sebagai Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden), maka nilai- nilai agama Islam yang hidup di masyarakat dapat menjadi dasar dinyatakannya seseorang melakukan perbuatan melawan hukum.
Kompetensi Absolut Peradilan Agama
Telah jamak diketahui bahwa Peradilan Agama memiliki wewenang dalam bidang hukum perdata Islam antara orang-orang Islam pada perkara-perkara tertentu. Pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 menyatakan:
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
- perkawinan;
- waris;
- wasiat;
- hibah;
- wakaf;
- zakat;
- infaq;
- shadaqah; dan
- ekonomi syari’ah.”
Dalam penjelasan pasalnya, telah disebutkan jenis-jenis perkara di setiap bidang kewenangan tersebut. Seperti dalam penelasan perkara waris dijelaskan:
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Dari uraian tersebut dapat terlihat adanya sejumlah jenis perkara yang dapat ditangani oleh Peradilan Agama yaitu:
- penentuan siapa yang menjadi ahli waris;
- penentuan mengenai harta peninggalan;
- penentuan bagian masing-masing ahli waris;
- pembagian harta peninggalan tersebut;
- penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris;
- penentuan bagian masing-masing ahli waris
Meski demikian, tidak berarti perkara-perkara dalam bidang waris terbatas pada jenis-jenis perkara tersebut. Pembatasan jenis perkara akan melawan keniscayaan dari suatu hubungan hukum itu sendiri yang selalu berkembang dan memunculkan masalah-masalah baru yang tidak disebut secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Faktanya, pada Peradilan Agama terdapat perkara permohonan mafqud yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam jenis-jenis perkara tersebut.
Menurut Penulis, dikhususkannya perkara yang dapat diadili pada peradilan agama pada dasarnya tidak membatasi bagaimana jenis gugatan yang diajukan. Akan tetapi karena sifatnya sebagai peradilan khusus mengesankan bahwa gugatan- gugatan pada peradilan agama terbatas pada bentuk-bentuk petitum gugatan tertentu. Berbeda dengan peradilan umum yang sesuai namanya bersifat sangat umum, sehingga tidak jarang menerima gugatan-gugatan yang sama sekali baru dan di kemudian hari menjadi suatu praktik standart. Seperti bentuk gugatan citizen lawsuit, class action, hingga gugatan terhadap pemerintah karena tidak menerbitkan terjemah resmi suatu peraturan perundang-undangan. Bentuk dan jenis gugatan- gugatan pada peradilan agama sejatinya juga tidaklah terbatas sepanjang diajukan dalam bidang-bidang yang ditentukan dalam Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama.
Penegasan atas luasanya kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili perkara juga tercermin dari ketentuan dalam Pasal 50 Undang-Undang a quo. Aturan ini menyatakan:
- Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
- Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Jika merujuk pada ketentuan ayat (1) pasal a quo, maka kewenangan Peradilan Agama untuk mengadili perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-Undang a quo akan terhambat atau setidaknya harus ditunda jika terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain yang berkaitan dengan objek perkara tersebut. Namun, dengan memperhatikan ketentuan ayat (2) pasal a quo, maka Peradilan Agama dapat mengadili sengketa hak milik dalam perkara yang diatur pada Pasal 49 Undang-Undang a quo, jika sengketa kepemilikan tersebut terjadi di antara dua subjek hukum yang beragama Islam. Bahkan jika memperhatikan penjelasan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang a quo, Peradilan Agama tidak hanya terbatas mengadili perkara dalam sengketa hak milik, namun juga sengketa keperdataan lainnya. Berikut penjelasan ketentuan a quo:
Ketentuan ini memberi wewenang kepada pengadilan agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam.
Sehingga, kewenangan peradilan agama dalam pemeriksaan perkara-perkara dalam Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama tidak hanya terbatas pada jenis-jenis perkara yang dicantumkan dalam penjelasan tiap item perkara ataupun yang telah jamak ditemukan dalam praktik. Namun mencakup segala jenis sengketa keperdataan yang terkait dengan objek sengketa dalam bidang-bidang yang ditentukan dalam Pasal 49. Ketentuan ini bertujuan untuk mempercepat dan mempermudah proses penyelesaian sengketa di antara para pihak. Agar dalam satu pemeriksaan perkara dapat terselesaikan sejumlah tuntutan. Hal ini sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Hal ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2) berikut:
Hal ini menghindari upaya. memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan agama.
Ketentuan ini juga tidak bermaksud keluar dari prinsip-prinsip peradilan agama ataupun mengambil alih kewenangan lembaga peradilan lainnya. Karena kewenangan untuk mengadili “sengketa perdata lain yang berkaitan dengan objek sengketa” tersebut terbatas jika sengketa a quo terjadi di antara subjek hukum yang beragama Islam. Jika subjek hukum tidak beragama Islam, maka Peradilan Agama harus menunda proses pemeriksaan perkara untuk menunggu putusan peradilan umum atau peradilan yang berwenang. Penjelasan Pasal 50 ayat (2) UU Peradilan Agama menyatakan:
Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan agama.
Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, pengadilan agama tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud.
Meski demikian, perlu dicatat bahwa kewenangan untuk mengadili segketa kepedataan lainnya tersebut hanya dapat dilakukan jika gugatan keperdataan tersebut diajukan bersama-sama dengan gugatan mengenai sengketa atau pokok
perkara dalam bidang-bidang yang diatur dalam Pasal 49. Dalam hukum acara perdata ketentuan ini diterjemahkan sebagai bentuk gugatan, yaitu harus berbentuk gugatan kumulatif atau terjadi gugatan balik/rekonvensi yang menuntut penyelesaian sengketa keperdataan terhadap objek sengketa. Ini merupakan konsekuensi dari frasa “objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49” dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang a quo.
Berdasarkan frasa tersebut pula, terbuka potensi adanya hak opsi bagi para pihak terhadap penyelesaian sengketa keperdataan yang terkait dengan objek perkara. Pertama, para pihak dapat memilih untuk menyelesaikan sengketa kperdataannya bersama-sama dengan penyelesaian pokok perkara dalam bidang sesuai Pasal 49 Undang-Undang a quo. Contohnya, dalam kasus di mana suatu harta bersama yang belum dibagi oleh suami dan istri dikuasai tanpa hak oleh pihak ketiga tanpa izin kedua suami istri, maka pihak ketiga dapat diseret dalam perkara pembagian harta bersama antara suami-istri tersebut. Dalam perkara ini Penggugat (suami atau istri) menggugat Tergugat I (Suami atau Istri) dan Tergugat II (Pihak Ketiga) dengan petitum berupa pembagian harta bersama dan petitum untuk menyatakan bahwa Tergugat II (Pihak Ketiga) telah melakukan perbuatan melawan hukum dan dihukum untuk mengosongkan lahan dan/atau membayar ganti kerugian. Kedua, para pihak dapat mengajukan gugatan PMH atau sengketa kepada Peradilan Umum terpisah dengan gugatan pokok perkara dalam bidang sesuai Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama. Contohnya, dalam kasus di mana suatu harta bersama yang belum dibagi oleh suami dan istri dikuasai tanpa hak oleh pihak ketiga tanpa izin kedua suami istri, maka suami dan istri dapat secara bersama-sama bertindak selaku Penggugat I dan Penggugat II menggugat Pihak ketiga sebagai Tergugat di depan Peradilan Umum. Setelah gugatan di Peradilan Umum selesai, suami dan istri dapat mengajukan gugatan harta bersama ke Peradilan Agama atau membagi harta bersama secara damai.
Adanya hak opsi bagi para pihak sebagaimana dicontohkan di atas merupakan konsekuensi ketentuan Pasal 50 yang tidak mencerminkan adanya kewajiban bagi para pihak untuk mengajukan sengketa milik atau keperdataan lainnya kepada Peradilan Agama. Terlebih, pada dasarnya merupakan pilihan para pihak untuk mengajukan gugatannya secara kumulatif atau tidak. Merupakan pilihan dari Tergugat pula untuk mengajukan atau tidak mengajukan gugatan rekonvensi atas perkara hak milik atau perkara keperdataan lainnya dalam suatu perkara. Oleh karenanya, dibutuhkan pamahaman dari masing-masing lingkungan peradilan dalam penerapan hak opsi ini. Agar tidak terulang ketidakpastian hukum yang pernah terjadi saat berlakunya hak opsi dalam perkara waris di masa lalu.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama berwenang untuk mengadili segala bentuk sengketa perdata dalam bidang-bidang yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama. Kewenangan Peradilan Agama untuk mengadili segala bentuk sengketa keperdataan termasuk di dalamnya gugatan Perbuatan Melawan Hukum dijalankan dengan syarat :
- Sengketa terjadi di antara subjek hukum islam/warga
- Sengketa berkaitan dengan Objek
- Objek sengketa merupakan objek sengketa dalam bidang-bidang yang telah diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Peradilan
- Gugatan PMH atau keperdataan lainnya diputus bersama-sama dengan penyelesaian perkara sesuai Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama.
Sumber :
- Hakim Pengadilan Agama Lewoleba
- Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013) hlm 11.
- Berdasarkan terjemah KUHPerdata yang disediakan pada JDIH Mahkamah Agung RI.
- Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum dipanda dari sudut hukum perdata, (Bandung: Penerbitan Vorkink, 1953) Hlm. 13.
- https://kumparan.com/kumparannews/kuhp-masih-berbahasa-belanda-tim-advokat-gugat-pemerintah diakses tanggal 31 Januari 2021.
Pelaksanaan SIMYANLING (Sistem Informasi dan Pelayanan Keliling) PA Ketapang Selanjutnya
Visitasi Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat Sebelumnya
Komentar Tidak Diperkenankan.